Bangkok, Selamat Datang
Tut, telepon ditutup. Pembicaraan terputus. Saya cemas karena tidak tahu bagaimana cara berkomunikasi. Berbagai pikiran buruk berkecamuk meski hanya sesaat. Dia membalikkan badannya mengulurkan kertas yang tadi diambilnya.
“There,” kata dia sambil menunjuk sebuah jalan di depan kami dengan aksen bahasa Inggris yang tidak kami pahami. Saya dan kawan saya saling berpandangan, mengendikkan bahu.
“There,” katanya sekali lagi. “Stop”, kata dia melihat kami hanya diam dan tetap duduk di kursi.
“Kita nyasar ya ini, driver ini nggak tahu jalan”, kata saya mulai sedikit emosi.
Ini sudah tengah malam dan perjalanan Jogja-Kuala Lumpur-Bangkok menyerap semua kemampuan otak saya. Lemot total. Entah penjelasan di penjelasan yang ke berapa akhirnya kami bisa memahami maksud driver yang berbahasa Inggris dengan logat Thailand.
Kita harus berhenti disini, jalan satu-satunya ke hotel ditutup dan mobil tidak bisa lewat. Begitulah maksud yang driver itu ingin sampaikan. Oalah.
Dentuman musik terdengar begitu kami keluar dari mobil, hanya sayup-sayup lama-kelamaan makin jelas saat kami melangkah ke jalan yang ditunjuk bapak sopir tadi.
“Party? Tengah malam?”pikir saya. Mata saya mulai terasa berat, saya hanya terus melangkah sambil menyeret koper. Bruk, tanpa sadar koper saya terantuk pada sesuatu, rupanya koper teman saya.
Dia berhenti menunjuk pada sebuah papan nama jalan, tertulis dalam aksara latin dan aksara thai. “Khao San Road,” saya mengeja tulisan itu dan melihat ke kertas yang saya pegang. entah benar atau tidak spelling saya. Yang terpenting cocok dengan alamat yang tertulis kertas ini..
Suara saya tenggelam oleh musik-musik di sepanjang jalan Khao San Road. Jalanan penuh dengan orang-orang, sebagian besar adalah turis-turis. Ada yang berjoget mengikuti irama musik. ada yang sedang makan, sekedar ngobrol sambil ngebir, sementara yang lain hanya berjalan-jalan di sepanjang jalan ini.
Ah ya mungkin daerah ini Sosrowijayan Jogja versi Bangkok. Rasanya sulit menerabas mereka apalagi dengan membawa koper seperti ini. Bagaimana bisa mencari hotel dengan keadaan seperti ini?
“Yuk,” teriak teman saya menyadarkan saya yang sedari tadi hanya mematung.
Saya meraih pegangan koper, mengangkat dan mulai melangkah. Sesekali saya hendak menubruk orang, lelah dan ngantuk rasanya badan ini sudah tidak sanggup lagi.
Kami berjalan sambil menengok kanan dan kiri, memeriksa papan nama yang ada di tiap bangunan.
Itu dia, Chart Hotel,” teriak saya.
Kami setengah lega sekaligus tidak percaya. Bagaimana mungkin live music yang terdengar dari ujung jalan tadi ternyata berasal dari sini. Kami ragu, tapi kami juga tidak ingin berjalan lebih jauh lagi.
Bagian bawah hotel ini adalah resto, meja bundar disusun memenuhi semua ruang. Semua terisi penuh, kami berjalan di sela-sela pengunjung resto yang sedang menikmati suasana malam itu. bagian pojok sebelah kiri ada mini bar.
Kami tidak menemukan tanda-tanda ada meja resepsionis. Lalu kami bertanya kepada salah satu pelayan yang kebetulan melintas. Rupanya kami harus masuk lebih dalam ke bagian belakang. Ada sebuah tangga yang mengarah ke lantai atas. Dibawah tangga itu ada celah kosong yang dijadikan meja resepsionis.
Senangnya akhirnya bisa check-in. Setelah mendapatkan kunci kami langsung menuju kamar. Ternyata dari dalam kamar suara hiruk pikuk pesta di bawah tidak terlalu terdengar. Kamarnya cukup luas, twin room yang kami pilih ini memiliki jendela yang menghadap ke jalan.
Sambil menunggu giliran mandi, saya melihat lalu lalang orang dari jendela. Setelah selesai mandi saya segera beristirahat, tidak butuh waktu yang lama akhirnya kami terlelap diiringi suara jedug jedug musik.
Tok tok tok, suara pintu diketuk
“Mbak," suara yang tidak asing terdengar dari balik pintu.
Aneh, sejak kapan orang Thailand mudeng panggilan dalam bahasa Jawa. Astaga, seketika saya teringat sesuatu. Saya segera beranjak membuka pintu.
“Sorry,” kata pertama yang kita ucapkan “Kami sampai tengah malam, ada pesta di sepanjang jalan ini. Begitu sampai hotel kami langsung mandi dan tidur. Maaf ya tidak memberi kabar," panjang lebar saya memberikan alasan kepada dua orang kawan yang sudah tiba sehari lebih dulu di Bangkok
“Hei kalian akhirnya sampai juga,” ujar kawan kami satu lagi sambil memamerkan deretan giginya.
Terlihat wajah cemas berganti lega ketika melihat kami. “Aku ke resepsionis berulang kali memastikan apa kalian sudah check in,” lanjutnya. “Iya sampai post di FB dan inbox nanyain kalian,” pungkasnya
“Maaf ya, kami nggak ada internet jadi nggak buka hape sama sekali”, terang saya. “Itu semalem ada acara apa sih?” tanya saya.
“Iya itu yang aku jelasin di Facebook, jalannya ditutup ada pesta Hallowen,” lanjutnya. “Hmm, kirain pesta penyambutan kedatangan kami,” kata saya diiringi gelak tawa. Selamat datang di Bangkok.
Heh. 31 Oktober 2013. Rasanya baru kemarin saya untuk pertama kalinya saya terbang seorang diri dari Jogja ke Kuala Lumpur, sampai di Kuala Lumpur lalu melanjutkan perjalanan. Padahal cerita itu sudah delapan tahun yang lalu.
Kala itu kami berempat merencanakan liburan bareng. dikarenakan ada jadwal yang berbeda kami memutuskan dua orang berangkat satu hari lebih awal di tanggal 30 Oktober 2013. Saya dan seorang kawan menyusul sehari setelahnya.
Kami terbang dari kota yang berbeda dan janjian bertemu di LCCT Kuala Lumpur. Kawan saya dari Langkawi Malaysia. sedangkan saya terbang dari Yogyakarta, Indonesia. Dari Kuala Lumpur barulah kami lanjut terbang ke Bangkok menggunakan maskapai Air Asia.
Kisah ini saya hadirkan kembali berkat sebuah notifikasi yang muncul di Facebook. Postingan sebuah pesan singkat dari dua orang kawan yang sudah tiba di Bangkok lebih dulu. Seketika itu potongan cerita ini terlintas. Huft kenangan memang seperti itu ya, mudah sekali dipanggil. Sekali lagi, Bangkok, selamat datang.
Posting Komentar untuk "Bangkok, Selamat Datang"