Gereja Katolik Santo Yusup Bintaran Yogyakarta dari Masa ke Masa
Masih berada di kawasan Bintaran Yogyakarta. Kunjungan kali kedua di tanggal 1 Juni 2022 ini, bersama rombongan Jogja Walking Tour (komunitas Malam Museum) tiba di sebuah gereja, Gereja Katolik Santo Yusup Bintaran. Di sambut oleh Bapak Wiranto salah satu anggota Pengurus Gereja, kami diajak berkeliling dan menyimak cerita setiap sudut tempat ini yang ternyata sangat historis sekali.
Sejarah Pembangunan dan Arsitektur Gereja Bintaran
Berada di plataran gereja, dari tempat saya berdiri saya bisa melihat bagian belakang bangunan gereja yang sebenarnya dibalik tembok itu adalah altar, tempat Romo memimpin misa. Pintu masuk gereja ini ada di sisi utara atau depan. Penjelasan Pak Wiranto dan Mas Erwin kali ini dimulai dengan cerita perjalanan pembangunan gereja dan kompleksnya.
Keberadaan Gereja Bintaran ini tidak bisa dilepaskan dari awal mula terbentuknya Kampung Bintaran di sekitar akhir abad 18. Kawasan pemukiman Loji Kecil waktu itu tidak lagi cukup menampung orang-orang Belanda yang mulai tinggal di Yogyakarta.
Akhirnya perumahan orang Eropa yang awalnya terpusat di Loji Kecil meluas ke kawasan Bintaran. Sebagai akibat dari banyaknya orang Eropa, gereja Kidul Loji yang waktu itu menjadi tempat ibadah orang Eropa dan orang pribumi yang beragama Katolik mulai umpel-umpelan.
Melihat kondisi ini Pastor H Van Driessche dan Bapak Dawood menggagas pembangunan gereja di Bintaran. Arsitek Belanda J.H Van Oijen BNA ditunjuk untuk mendesain gereja khusus umat Katolik pribumi pertama di Yogyakarta. Sedangkan Hollandsche Beton Maatschappij merupakan kontraktor pelaksanana pembangunan gereja.
Proses pembangunan gereja berlangsung kurang lebih satu tahunan, dari tahun 1933 – 1934 dan diresmikan tanggal 8 April 1934. Arsitektur Gereja Bintaran ini sangat unik, memiliki atap melengkung dari beton sepanjang arah memanjang bangunan.
Arsitek pada masa itu memasuki era bebas, bersifat personal dan tidak ada pakem khusus seperti era sebelumnys. Gereja ini berkonsep punden berundak karena mengadopsi nilai kejawaan. Di sepanjang sisi kanan dan kiri terdapat ragam hias jendela mawar. Terhitung ada kira-kira 70-an rose window yang selain mempercantik ornament gereja sekaligus menjadi ventilasi dan pencahayaan.
Gereja Katolik Santo Yusup Bintaran, Gereja Pribumi Pertama di Jogja
Kampung Bintaran bukanlah kawasan yang asing bagi saya, selain karena jaraknya dengan rumah yang relative dekat juga karena di Bintaran ada sebuah gereja tempat saya beribadah setiap hari Minggu. Gereja Katolik Santo Yusup Bintaran namanya, saya tidak pernah tertarik dengan sejarah atau latar belakang cerita tentang gereja ini.
Saya menganggap gereja ini hanya sebatas tempat beribadah dan melakukan kegiatan lain bersama dengan teman-teman. Ada dua momen yang membuat saya tersadar ternyata gereja ini punya nilai historis yang pertama pemugaran gereja setelah kena gempa bumi tahun 2006 dan film Soegija.
Seperti yang diceritakan sebelumnya bahwa keberadaan gereja Bintaran tidak terlepas dari perluasan pemukiman orang Eropa di Yogyakarta. Kala itu orang Eropa yang memeluk agama Katalik beribadah di gereja Kidul Loji, sekarang bernama Gereja Katolik Fransiskus Xaverius. Letaknya ada di sebelah timur Bank Indonesia.
Sejalan dengan semakin padatnya pemukiman orang Eropa, akhirnya dibangunlah gereja Bintaran terutama untuk menampung umat Katolik pribumi yang pada waktu itu sudah mulai memadati gereja Kidul Loji.
Karena hampir sebagian besar umat Katolik yang beribadah di gereja Bintaran adalah orang Jawa, tidak banyak kursi yang disediakan. Saat misa umat akan menggelar tikar dan duduk lesehan. Bangku-bangku disediakan khusus untuk orang Eropa (karena mereka tidak bisa duduk lesehan). Bangku-bangku tersebut sudah diberi nama dan masing-masing orang duduk seseuai dengan nama yang tertera.
Peran Gereja Katolik Santo Yusup Bintaran di Era Kemerdekaan
Pada masa pemindahan ibu kota dari Batavia ke Yogyakarta sekitar tahun 1946, Mgr A. Soegijapranoto atau Romo Kanjeng yang pada waktu itu menjabat sebagai Uskup Agung Semraang memindahkan kantor Vikariat Apostoliknya dan Gereja Katedral Semarang ke Gereja Bintaran Yogyakarta.
Pada saat Soekarno diasingkan ke Pulau Bangka, Uskup Soegija pernah memberi tempat mengungsi Ibu Negara Fatmawati dari kejaran Belanda. Saat itu ibu Fatmawati baru saja melahirkan bayi yang kemudian diberi nama Megawati Soekarno Putri. Putrinya lahir pada tanggal 23 Januari 1947 di kampung Ledok Ratmakan.
Peran Gereja Katolik Santo Yusup Bintaran untuk Pendidikan dan Organisasi
Pada masa kemerdekaan gereja Santo Yusup Bintaran pernah menjadi tempat pertemuan kelompok gereja Katolik salah satunya Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) yang berlangsung dar tanggal 12-17 Desember 1949 yang menghasilkan Partai Katolik Indonesia. Dalam dunia pendidikan gereja Bintaran menjadi rintisan sekolah pribumi untuk jenjang SMA yang kini menjadi Kolose Debritto.
Pembangunan Kembali gereja Santo Yusup Bintaran Pasca Gempa 2006
Di saat Yogyakarta mengalami musibah gempa bumi dahsyat pada bulan Mei tahun 2006, hampir semua bangunan di wilayah Yogyakarta mengalami kerusakan. Ada yang hancur ada pula yang hanya mengalami kerusakan kecil.
Bangunan gereja Bintaran juga mengalami kerusakan. Terutama di bagian aula. Namun karena pada waktu itu bangunan termasuk dalam cagar budaya, pembangunannya tidak boleh sembarangan. Beberapa tim ahli baik dari sejarah, arsitek dan bangunan bertukar pendapat dan memulai renovasi bangunan ini, termasuk harus mendapat ijin dari pemerintah.
Pembangunan kembali kompleks gereja Bintaran membutuhkan waktu kira-kira 2 tahun dengan mempertahankan bentuk aslinya. Bangunan aula yang dulunya ditutup, kini dibongkar dan dibuka sehingga tampak seperti pendopo dengan pilar beton yang besar. Bangunan gerejanya sendiri tidak mengalami kerusakan, masih utuh, kerusakan di bagian aula dan belakang.
Kini, Gereja Katolik Santo Yusup Bintaran sebagai Bangunan Cagar Budaya
Gerja Bintaran ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya dan dilindungi oleh negara berdasarkan peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2007. Kini keberadaan sudah menjadi aset yang harus dijaga bersama.
Nantinya akan ada museum gereja Bintaran yang rencananya akan menempati salah satu ruangan di bagian aula Bintaran. Di aula ini juga tersimpan foto-foto jadul terkait dengan peristiwa yang terjadi di gereja Bintaran. Saya melihat ada foto peresmian gereja dan situasi gereja saat awal berdiri, ada juga foto Romo Soegijapranoto, uskup pribumi pertama dan pahlawan nasional.
Dengan ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya tentu saja tidak boleh sembarangan, ada konsekuensi yang menyertainya.Misalnya terkait dengan perawatan bangunan dan restorasinya, harus terlebih dahulu berkonsultasi dengan para ahli agar tidak menimbulkan kerusakan. Tentu saja upaya-upaya perawatan seperti ini harus mendapat dukungan dari berbagai pihak dan masyarakat.
Penutup
“Sebagai bangunan cagar budaya nantinya akan ada perubahan di gereja Bintaran salah satunya adalah gereja ini akan dibuka untuk umum,” kata Pak Wiranto sebelum kami mengakhiri kunjungan. Tidak lama lagi warga Jogja dan masyarakat luar Jogja bisa mengunjungi tempat ini sekaligus belajar mengenal kawasan Bintaran khusunya Gereja Bintaran.
Rombongan Jogja Walking Tour mengakhiri kunjungan di gereja Bintaran, berpamitan kepada Pak Wiranto dan berterima kasih sudah diberikan kesempatan untuk berkunjung dan mendengar cerita tentang gereja Bintaran. Kalau kalian tertarik juga untuk mengunjungi kawasan Bintaran dan gereja Bintaran, bisa cek instagram @jogjawalkingtour untuk update rutenya ya. sekarang kami akan lanjut ke titik berikutnya, masih di Kawasan Bintaran Yogyakarta. sampai jumpa nanti ya.
Posting Komentar untuk "Gereja Katolik Santo Yusup Bintaran Yogyakarta dari Masa ke Masa"