Kaki yang Mengalun di Luang Prabang
Entah berapa lama kami sudah berjalan, tiba-tiba kami sudah berada di tempat yang sama dengan semalam. Rupanya di sepanjang jalan ini dijadikan street hawker, satu-satunya kawasan yang paling ramai di Luang Prabang.
Berbeda sekali dengan keadaan di siang hari tidak ada aktivitas, hanya satu dua pedagang makanan/minuman yang mangkal di depan pintu masuk National Museum. Ya memang street hawker ini digelar di jalan depan museum National setiap hari.
“Wah ada Miniso, mampir yuk mbak,” ujar Nita membuyarkan fokus saya.
Dasar cewek ya, nggak bisa menahan diri dari belanja belanji.
“Yuk, coba liat koleksinya sama apa enggak ya dengan yang di Indonesia,” kata saya penasaran sambil berjalan masuk ke arah toko.
Walhasil kami memboyong topi kain dan beberapa make up.
“Hahaha kalau ini kan bisa diselipkan di antara baju-baju, aman lah dari over weight,” ujar saya setelah gagal membawa tas rotan tadi malam.
Ya semalam, di hari pertama tiba di Luang Prabang kami langsung menyambangi night market di jalan utama kota ini. Night market ini buka setiap hari dari Senin sampai Minggu.
Tidak seperti Jonker Night Market Melaka di Malaysia yang hanya buka tiap akhir pekan dari Jumat malam hingga Minggu malam saja.
Suasana night market Luang Prabang pun sedikit berbeda. Hampir 90 persen yang datang ke sini adalah turis, produk yang dijual pun lebih banyak produksi home made, seperti home made hand bag rotan yang memikat hati saya sejak pada pandangan pertama.
Mengalun di Luang Prabang
Kami sengaja tidak mau kalap saat berada di dalam Miniso, setelah menyelesaikan pembayaran kami segera keluar. Nyatanya tidak ada Minisso jilid 2 selama kami berada di Luang Prabang.
Hari masih pagi kami hanya berjalan kaki, cuaca cerah dan lumayan panas. Untung saya tadi memutuskan untuk membeli topi jadi bisa langsung saya pakai.
Tidak ada langkah kaki yang terburu-buru, semuanya tenang dan mengalun di sini. Masyarakatnya maupun para turis yang berlibur di sini. Lalu lintas di ruas jalan Luang Prabang juga tidak terlalu banyak. sesekali melintas mobil, motor dan tuktuk yang merupakan moda transportasi umum kota ini.
Jalanan yang saat ini sedang saya lalui adalah jalan utama tempat para street hawker membuka lapaknya di sore hari. Tepatnya berada di depan Istana Negera Luang Prabang. Dari arah saya berjalan Istana Negara ada di sebelah kanan, sedangakan Mount Poushi di sebelah kiri
Bangunan yang disebut istana ini tidak seperti istana yang gemerlap nan gegap gempita. Tampak berwibawa meski dalam kebersahajaan.
Sesuai sekali dengan ritme kota ini yang mengalun dalam ketenangan. Bahkan saya juga tidak mendengar klakson kendaraan yang riuh seperti di jalanan kota Ho Chi Min di Vietnam.
Langkah Kaki dalam Ketenangan
Kami tidak ada tujuan hari itu, hanya ingin menikmati kota ini saja, berjalan kemana saja kaki ini melangkah. Sesekali kami indra pembau kami digoda dengan aroma sedap daging panggang, sampai akhirnya sudah tidak tahan lagi kami pun berhenti di salah satu lapak, di depan sebuah wat.
Si ibu sedang memanggang beberapa daging, daging yang sudah dibumbui itu ditusuk seperti sate. Pantesan aromanya wangi sekali, kami memesan satu tusuk sate babi dan ayam.
Sate ayamnya lembut dan sangat juicy, dengan bumbu yang manis sedikit pedas. Cocok sekali untuk pemanasan sebelum menu makan siang. Sementara Nita terlihat lahap juga menyantap sate babinya.
Oiya buat teman-teman muslim, memang harus berhati-hati untuk memilih menu/resto di sini.
Pastiin aja dengan bertanya ke penjualnya sebelum membeli makanan. Atau jika memang kesulitan komunikasi karena kendala bahasa, pilih aja yang menu veggie/vegan, pasti aman.
Luang Prabang dan Sisi Modernitas
Langkah kaki kembali melanjutkan perjalanan. Aneh sekali ya kota ini, saya tidak menjumpai keberadaan mall atau pun bangunan modern yang menjulang.
Toko. Satu-satunya jejak modernintas yang saya temukan di kota ini ya MInisso tadi. itupun tidak berada di mall seperti kebanyakan yang lain.
Sedangkan satu-satunya bangunan megah yang saya jumpai di sini ya Istana negara dan National Museum. Bahkan hotel berbintang pun menempati bangunan khas Lao, kalaupun bertingkat hanya dua tingkat, bukan bangunan tinggi pencakar langit.
Penutup
Hampir sejauh kaki melangkah hanya ada bangunan berarsitektur khas Lao, semuanya. Saya tidak henti-hentinya mengagumi semua arsitektur bangunan di sini. Sampai akhirnya saya tersadar jika Luang Prabang ditetapkan menjadi salah satu World Heritage City oleh Unesco. Oalah pantesan
Posting Komentar untuk "Kaki yang Mengalun di Luang Prabang"